Minggu, 06 Februari 2011

surat cinta untuk TJ: Novel


surat cinta untuk  TJ: Novel
oleh Nani Sulyani Karyono pada 14 Februari 2010 jam 8:12


Selamat pagi, TJ
Minggu pagi ini langit tak biru benar. Sedikit abu-abu  membias, namun cukup menghangatkan lembabnya udara Lembang  sejak beberapa hari lalu.

Aku rindu dirimu.  
Aduh, sepagi ini sudah rindu ya?  Entah, seringkali rasa rindu muncul begitu saja bila bertemu warnamu: ungu. Tak bisa kuelakkan, meskipun saat ini tengah kugenggam warna lain, oranye misalnya.

Apa kabar dirimu sekarang?  Sehatkah?
Aku tak hendak membayangkan dirimu berubah jadi bertubuh tegap dan berdada bidang (atau mungkin antara ingin dan tak ingin). Ah, biar saja. Tak kuhirau bila dirimu tetap hadir dalam wujud yang ringkih. Toh dalam imajiku terdalam, kau tetap perkasa. Tetap mampu merengkuh, memeluk diriku, bahkan  menahan  guncangan bahuku tatkala menahan isak.

Minggu pagi ini kuingin mengajakmu menyeruput secangkir kopi susu. Kau ingat,  aktivitas ini sering kita nikmati di saat senggang.  Karena itulah, tiap kali kutemukan waktu senggang mesti kucari secangkir kopi susu.  Anehnya, untuk secangkir kopi susu, kungin mereguknya berdua, hanya  denganmu saja.

Membuatmu heran, bukan?  Makin takjub, karena akhir-akhir ini kuingin melakukannya hampir setiap hari. Sungguh, sebuah  pilihan yang tak masuk akal.  Benar-benar tak kupahami  alasannya hingga sekarang.

Begitulah, cintaku.
Seperti yang kau kenal, aku memang seorang pemaksa. Amat keras kepala. Maunya semua kebutuhan terpenuhi.  Maunya semua orang tunduk  pada perintahku. Tak jarang kau mengomel karena kelakuanku ini. Menyebalkan, umpatmu suatu kali.

Ya, bila sedang  muncul penyakit ndablek-ku, maka serta merta kau akan berseru: “Ih, dasar kamu ini, Koem….!!”.

Karena untuk mendapatkan segala keinginanku, acapkali kulakukan dengan berbagai cara. Aku akan tampil dengan wajah memelas,  menatapmu . Memohon dibolehkan. Kemudian, aku mulai beragumen. Mencari-cari alasan, apa saja kukatakan agar kau meloloskan  permintaanku.

Apabila menurutmu permintaaanku sudah keterlaluan, maka  kau tetap teguh pada pendirianmu. Berkata tidak. Sementara aku tetap memaksa. Bila sudah kehabisan akal menghadapiku,  kau akan bersikap diam. Meninggalkanku,  melakukan aktivitas lain.  Sampai akhirnya aku berhenti merajuk dan berkata: “ Baik, aku menyerah.  Takkan kulakukan hal itu. “ Lalu kembali kureguk kopi susu buatanmu.

Apa kabar dirimu yang ringkih?
Pabila mungkin, ingin kuhabiskan minggu ini mendengar resensimu tentang novel yang kemarin kau baca. Pasti mengasyikkan. Kujamin kau ahlinya dalam hal ini. Biasanya, kusimak  sembari berbaring di kasurmu yang tergeletak begitu saja di lantai. “Siapa saja tokohnya ?”.  “Bagaimana dia bisa jatuh cinta pada pada si gadis bodoh itu?”  Pertanyaan itu meluncur lancar dari bibirku diiringi  pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mulutku pun tak henti mengkrauk cemilan yang kau sajikan. Hingga akhirnya kau menamatkan dongengmu, melengkapiku  tidurku yang  pulas. (Ah, lagi-lagi pilihan yang saat ini tak mungkin terlaksana, meski amat kurindu! )

Apakah kau masih melanjutkan membaca novelmu, sayang?  Lama sekali tak kudengar engkau membacakannya untukku.

Kau tahu,  aku pernah amat membenci telepon seluler. Ia begitu tega menciptakan jarak diantara kita. Inginnya kugunting saja bentangan sinyal itu. Biar tak terbaca smsmu:
 “Baca aja novelnya sendiri, bagus kok ceritanya”.

Atau pastinya ingin kuinjak-injak benda persegi itu.  Biar tak terbaca rangkaian huruf  dilayarnya: “ novelnya sudah kau baca, Koem?”


Suatu kali, sempat pula kubanting novel-novel  kirimanmu:  “Belum  juga  kubaca…!!!” teriakku.  Tetapi setelahnya, kumerasa bersalah padamu. Ada yang menggemuruh begitu hebat di dadaku. Darinya  seperti mengalir  lahar panas ke kepalaku. Ke wajahku juga. Menghasilkan tetes air di pori-poriku, merupa keringat. Dingin.

Sejurus kemudian kutengok, novel itu tengah menatapku. Merintih, ada wajah sedihmu di sana. Juga ada air mata. Ah, dirimu dan novel itu. Akhirnya, kupungut lagi novel-novel kirimanmu. Mendekapnya di dadaku.

Saat ini, beberapa capung tengah bercengkrama. Melintas di luar jendela kamarku.  Tampak  pula panorama kota Bandung  amat cerah. Benderang. Menggoda untuk dikunjungi. Tapi tidak, lupakan saja! Sungguh tak berniat kutengok saat ini.

Kemarilah, kekasihku.
Jenguk hatiku. Ia akan berkata: “ aku sangat rindu bercengkrama denganmu, seperti capung-capung itu” .  (Tuhan, lagi-lagi pilihan yang sulit, bukan? )

Tepat pukul delapan pagi. Kucingku si mimi terdengar mengeong, minta makan.

Selamat beraktivitas, Sayang.
Nanti  sore  aku berkunjung. Kutahu kau amat menyukai bunga  anggrek ungu. Akan kutabur  di atas tubuhmu. Agar harum.  Juga  sebotol air mineral yang kubanjurkan agar kau tak merasa kehausan…


Langit Lembang, 14 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar