surat cinta untuk TJ: Novel
Selamat pagi, TJ
Minggu pagi ini langit tak biru benar. Sedikit abu-abu membias, namun cukup menghangatkan lembabnya udara Lembang sejak beberapa hari lalu.
Aku rindu dirimu.
Aduh, sepagi ini sudah rindu ya? Entah, seringkali rasa rindu muncul begitu saja bila bertemu warnamu: ungu. Tak bisa kuelakkan, meskipun saat ini tengah kugenggam warna lain, oranye misalnya.
Apa kabar dirimu sekarang? Sehatkah?
Aku tak hendak membayangkan dirimu berubah jadi bertubuh tegap dan berdada bidang (atau mungkin antara ingin dan tak ingin). Ah, biar saja. Tak kuhirau bila dirimu tetap hadir dalam wujud yang ringkih. Toh dalam imajiku terdalam, kau tetap perkasa. Tetap mampu merengkuh, memeluk diriku, bahkan menahan guncangan bahuku tatkala menahan isak.
Minggu pagi ini kuingin mengajakmu menyeruput secangkir kopi susu. Kau ingat, aktivitas ini sering kita nikmati di saat senggang. Karena itulah, tiap kali kutemukan waktu senggang mesti kucari secangkir kopi susu. Anehnya, untuk secangkir kopi susu, kungin mereguknya berdua, hanya denganmu saja.
Minggu pagi ini langit tak biru benar. Sedikit abu-abu membias, namun cukup menghangatkan lembabnya udara Lembang sejak beberapa hari lalu.
Aku rindu dirimu.
Aduh, sepagi ini sudah rindu ya? Entah, seringkali rasa rindu muncul begitu saja bila bertemu warnamu: ungu. Tak bisa kuelakkan, meskipun saat ini tengah kugenggam warna lain, oranye misalnya.
Apa kabar dirimu sekarang? Sehatkah?
Aku tak hendak membayangkan dirimu berubah jadi bertubuh tegap dan berdada bidang (atau mungkin antara ingin dan tak ingin). Ah, biar saja. Tak kuhirau bila dirimu tetap hadir dalam wujud yang ringkih. Toh dalam imajiku terdalam, kau tetap perkasa. Tetap mampu merengkuh, memeluk diriku, bahkan menahan guncangan bahuku tatkala menahan isak.
Minggu pagi ini kuingin mengajakmu menyeruput secangkir kopi susu. Kau ingat, aktivitas ini sering kita nikmati di saat senggang. Karena itulah, tiap kali kutemukan waktu senggang mesti kucari secangkir kopi susu. Anehnya, untuk secangkir kopi susu, kungin mereguknya berdua, hanya denganmu saja.
Membuatmu heran, bukan? Makin takjub, karena akhir-akhir ini kuingin melakukannya hampir setiap hari. Sungguh, sebuah pilihan yang tak masuk akal. Benar-benar tak kupahami alasannya hingga sekarang.
Begitulah, cintaku.
Begitulah, cintaku.
Seperti yang kau kenal, aku memang seorang pemaksa. Amat keras kepala. Maunya semua kebutuhan terpenuhi. Maunya semua orang tunduk pada perintahku. Tak jarang kau mengomel karena kelakuanku ini. Menyebalkan, umpatmu suatu kali.
Ya, bila sedang muncul penyakit ndablek-ku, maka serta merta kau akan berseru: “Ih, dasar kamu ini, Koem….!!”.
Karena untuk mendapatkan segala keinginanku, acapkali kulakukan dengan berbagai cara. Aku akan tampil dengan wajah memelas, menatapmu . Memohon dibolehkan. Kemudian, aku mulai beragumen. Mencari-cari alasan, apa saja kukatakan agar kau meloloskan permintaanku.
Apabila menurutmu permintaaanku sudah keterlaluan, maka kau tetap teguh pada pendirianmu. Berkata tidak. Sementara aku tetap memaksa. Bila sudah kehabisan akal menghadapiku, kau akan bersikap diam. Meninggalkanku, melakukan aktivitas lain. Sampai akhirnya aku berhenti merajuk dan berkata: “ Baik, aku menyerah. Takkan kulakukan hal itu. “ Lalu kembali kureguk kopi susu buatanmu.
Apa kabar dirimu yang ringkih?
Apa kabar dirimu yang ringkih?
Pabila mungkin, ingin kuhabiskan minggu ini mendengar resensimu tentang novel yang kemarin kau baca. Pasti mengasyikkan. Kujamin kau ahlinya dalam hal ini. Biasanya, kusimak sembari berbaring di kasurmu yang tergeletak begitu saja di lantai. “Siapa saja tokohnya ?”. “Bagaimana dia bisa jatuh cinta pada pada si gadis bodoh itu?” Pertanyaan itu meluncur lancar dari bibirku diiringi pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mulutku pun tak henti mengkrauk cemilan yang kau sajikan. Hingga akhirnya kau menamatkan dongengmu, melengkapiku tidurku yang pulas. (Ah, lagi-lagi pilihan yang saat ini tak mungkin terlaksana, meski amat kurindu! )
Apakah kau masih melanjutkan membaca novelmu, sayang? Lama sekali tak kudengar engkau membacakannya untukku.
Apakah kau masih melanjutkan membaca novelmu, sayang? Lama sekali tak kudengar engkau membacakannya untukku.
Kau tahu, aku pernah amat membenci telepon seluler. Ia begitu tega menciptakan jarak diantara kita. Inginnya kugunting saja bentangan sinyal itu. Biar tak terbaca smsmu:
“Baca aja novelnya sendiri, bagus kok ceritanya”.
Atau pastinya ingin kuinjak-injak benda persegi itu. Biar tak terbaca rangkaian huruf dilayarnya: “ novelnya sudah kau baca, Koem?”
Suatu kali, sempat pula kubanting novel-novel kirimanmu: “Belum juga kubaca…!!!” teriakku. Tetapi setelahnya, kumerasa bersalah padamu. Ada yang menggemuruh begitu hebat di dadaku. Darinya seperti mengalir lahar panas ke kepalaku. Ke wajahku juga. Menghasilkan tetes air di pori-poriku, merupa keringat. Dingin.
Sejurus kemudian kutengok, novel itu tengah menatapku. Merintih, ada wajah sedihmu di sana. Juga ada air mata. Ah, dirimu dan novel itu. Akhirnya, kupungut lagi novel-novel kirimanmu. Mendekapnya di dadaku.
Saat ini, beberapa capung tengah bercengkrama. Melintas di luar jendela kamarku. Tampak pula panorama kota Bandung amat cerah. Benderang. Menggoda untuk dikunjungi. Tapi tidak, lupakan saja! Sungguh tak berniat kutengok saat ini.
Kemarilah, kekasihku.
Jenguk hatiku. Ia akan berkata: “ aku sangat rindu bercengkrama denganmu, seperti capung-capung itu” . (Tuhan, lagi-lagi pilihan yang sulit, bukan? )
Tepat pukul delapan pagi. Kucingku si mimi terdengar mengeong, minta makan.
Tepat pukul delapan pagi. Kucingku si mimi terdengar mengeong, minta makan.
Selamat beraktivitas, Sayang.
Nanti sore aku berkunjung. Kutahu kau amat menyukai bunga anggrek ungu. Akan kutabur di atas tubuhmu. Agar harum. Juga sebotol air mineral yang kubanjurkan agar kau tak merasa kehausan…
Langit Lembang, 14 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar