Minggu, 06 Februari 2011

surat cinta untuk TJ: flamboyant

Surat cinta untuk TJ: flamboyant

Selamat pagi menjelang siang, TJ

Langit Lembang agak cerah pagi ini. Sinar mentari menyemburatkan  warna oranye pada latar langit kebiruan. Menghangati. Membuat cerah pada warna-warni yang ditimpanya. Indah sekali jika kamu bisa merasakannya. Panorama seperti ini biasanya ditunggu banyak orang. Jadi, amat disayangkan jika pagi ini tak digunakan untuk berjemur.

Ayo kemari, sayang. Temani aku. Duduk sendirian di bangku taman terasa tak mengenakan. Kesepian. Ayo rasakan, kehangatan  mentari jatuh menerpa punggung, menjalari sekujur tubuh. Sungguh Nikmat, apalagi setelah beberapa hari ke belakang  kota Lembang  selalu diterjang angin dingin yang membuat tubuh menggigil.
                                                                   ***
Aku amat suka duduk disini, di bangku taman. Dekat dengan  pohon flamboyant yang di ujung daunnya masih bersisa embun, bekas hujan semalam. Awalnya  tak tahu kenapa. Belakangan baru kusadari, bunga flamboyant mengingatkanku padamu. Kau amat menyukainya. Apalagi ketika musim berbunga. Sangat indah, katamu. Berwarna semarak, menebar di sana sini.

Sedang apakah dirimu sekarang? Menyulam,  melukis, membaca?

Biarlah, tak begitu penting kau sedang apa, lanjutkan saja. Sambil kau tetap beraktivitas, kita berbincang tentang kisah lama ya.
Pada masa lalu kita sering berdiskusi tentang banyak hal. Kau adalah teman diskusi yang baik. Tema diskusi kita kadangkala bersifat serius. Sering juga, karena perbedaan pendapat  membuat kita tak bertegur sapa seharian. Sesudah baikan lagi, baru kita mengganggap lucu karenanya.

Salah satu yang kuingat adalah perbedaan sudut pandang  kita dalam menyikapi pernikahan di usia muda. Aku berpendapat pernikahan membutuhkan konsentrasi, kesungguhan dan kesiapan dalam banyak hal, termasuk materi. Aku maunya menikah setelah lulus kuliah dan bekerja. Aku akan punya penghasilan sendiri sehingga tak perlu merepotkan orang tua. Sementara, pendapatmu bersebrangan. Katamu, soal materi tak usahlah dibuat rumit, yang penting patuh pada komitmen kesetiaan. Katamu lagi, pernikahan dapat membawa berkah pada banyak hal termasuk urusan rejeki dari Tuhan. Jadi ketika keinginan menikah telah begitu kuat, maka segeralah menikah.

Sudahlah, kita mengenang yang indah-indah saja ya, sayang. Jika diprosentasi, tampaknya kita banyak merajut sejumlah kisah  dengan perasaan gembira. Tawa dan canda selalu menghiasi hari-hari kita.

Aku selalu mengagumimu. Kamu memang  perempuan lembut, namun ternyata  juga pandai membuat cerita lucu. Bahkan ketika  menghadapi  hal serius pun akan dibahas menjadi sesuatu yang bisa dipahami dari sisi humor.

Sekarang mari kita tempelkan aksesoris pada kisah kita. Menyematkan kolase, pita, renda…agar cerita terdengar jauh lebih indah dari aslinya. Kata orang, sebuah cerita akan lebih indah apabila dibumbui dengan imajinasi. Selanjutnya, tanpa sadar kita akan menginginkan cerita itu berulang sesuai dengan imajinasi yang kita ciptakan. Benar, sayang?

Kamu ingat, suatu ketika kita pernah pergi ke pantai. Dulu sekali. Sebelumnya, aku pernah mengajukan beberapa ide untuk mengisi liburan kita. Aku tawarkan apakah kita akan mengunjungi  pegunungan, teluk, danau atau pantai. Kamu memilih pantai. Katanya, karena kamu berasal dari  daerah pegunungan, maka suasana pantai selalu membuatmu takjub. Kita menikmatinya beberapa hari kemudian….

Sebuah pantai yang indah, ucapmu ketika kita baru saja tiba. Aku hanya tersenyum. Tak perlu dikomentari. Aku adalah seorang anak yang dibesarkan di tepi laut. Memandangi perahu-perahu nelayan  lalu lalang saat pulang dan pergi melaut, mengobrol sambil menemani mereka  merajut jaring ikan, menghirup aroma  ikan yang dijemur berjajar di atas tampah pada siang yang terik…. merupakan beberapa hal yang kusantap setiap hari.

Pantai, letaknya sangat dekat rumahku. Tak perlu berkendaraan. Cukup berjalan kaki  kira-kira sepuluh menit, maka sampailah. Oleh karena itu, bagiku, elemen-elemen pantai tampak biasa saja. Pasir, karang, ombak, batas pandang, perahu, pohon bakau, semilir angin, pun matahari yang terbit atau tenggelam…..

“Gak usah pake sandal. Sini, rasakan riak ombak menyentuh kaki kita, hmh..” katamu. Mengajakku bertelanjang kaki, berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Telapak kaki kita meninggalkan jejak pada pasir yang lembut. Kadang kamu  agak melompat-lompat  untuk membuat jejak kakimu lebih dalam, sambil tertawa-tawa kecil. Ceria sekali. Kulihat kegembiraan dalam dirimu meletup-letup. Menghasilkan  sesuatu yang  berbinar di matamu, berkerlap-kerlip seperti gugusan bintang. Kamu tahu, sayang. Bagian ini yang amat kusuka darimu, sehingga membuatku ketagihan untuk mengulangnya kembali dalam bentuk yang lain.

Waktu itu sore hari. Matahari hampir tenggelam, membiaskan warnanya yang tembaga. Memantul pada permukaan air laut. Aku mengikuti langkahmu, bersejajar mengiringimu. Terlihat tinggal beberapa orang sedang menikmati pula indahnya pantai. Meskipun mereka juga berpasangan, kami tak begitu saling perduli.

Kadang-kadang aku pun melakukan hal serupa ini. Kalau sedang jenuh. Berjalan-jalan sendirian menyusuri tepi pantai. Sekadar membiarkan angin pantai menerpa tubuhku. Tentu, aku agak hapal pada batas pantai mana yang bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. Tapi sungguh, antara berjalan-jalan sendirian dengan ditemani seseorang ternyata berbeda rasanya. Sepertinya suasana pantai berubah jadi romantis dan syahdu.

Kurasakan angin lebih lembut berdesir. Ombak pun tak terlalu besar sehingga  permukaan laut tampak lebih jinak. Terbawa suasana, entah siapa yang memulai terlebih dahulu, tapi tangan kita kemudian bergandengan, saling bergenggaman…

Untuk beberapa saat kita hanya berjalan-jalan saja, tanpa berkata-kata. Tiba-tiba kamu berhenti untuk memungut. “Nih, Ada sepotong ranting.” Memberikannya padaku yang menatapmu keheranan. “Ayo tulis nama kita, di sini, di pasir ini…”
“Disini..?” tanyaku sembari menunjuk pasir. “Ya, disini..” kamu pun menegaskan. Busyet, apapunlah tapi jangan itu! Menuliskan nama kami di atas pasir sungguh merupakan suatu…perbuatan yang amat sangat meniru sinetron, novel teenlit, atau cerita percintaan  film jadul yang dibintangi oleh aktris Rano Karno dan Lidya Kandow.

Seribu persen, saat itu aku ingin menghindar. Mengharap tiba-tiba turun hujan, pura-pura tertidur, atau apa saja! Tapi seolah memahami keraguanku, kamu menatapku, menusuk. Dalam tatapanmu ada setangkup permohonan. Ya, seperti biasanya aku tak kuasa menolak. Ada serupa telaga di matamu yang di dalamnya berisi air yang jernih, segar, menyejukkan dan melenakan. Sehingga ketika aku selesai bermandi-mandi, kesegaran itu masih menempel lama di tubuhku. Lalu aku tak pernah bisa sembunyi dari  apapun permintaanmu….

Kemudian aku  menuliskan nama kita di atas pasir. Kamu menambahkan kontur serupa daun di sekelilingnya. Kamu tatap beberapa saat. Sepertinya hal itu membuatmu haru. Tak berapa lama, kita berlalu meninggalkannya. Melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Ketika kutengok ke belakang, ombak kecil telah menjilatnya. Syukurlah…Entah, diantara yang lainnya, sepertinya  peristiwa itu yang menurutku paling menggelikan.

Sejenak kita duduk di atas pasir yang kering. Berselonjor kaki, melepas lelah. Butiran pasir menempel pada rokmu dan celana panjangku. Kita berdua asyik memandang matahari yang sebentar lagi merebahkan tubuhnya setelah sepanjang siang sibuk tersenyum sambil memelototi kita. Kamu tak berkata-kata. Agak lama. Aku membiarkannya. Kutahu kamu sedang melahap pesona tebaran  sinar matahari yang memantul pada permukaan laut dengan matamu yang indah.  Kamu juga sedang menikmati desir angin pantai menyentuh kulitmu yang halus, dan mempermainkan ujung rambutmu yang sesekali melintas  di  wajahku. Kamu sedang menyimpan semuanya dalam kenanganmu….

“Kau suka?” tanyaku. Ah, pertanyaan basa-basi. Karena dari bahasa tubuhmu aku sudah tahu jawabannya.
“Sangat. Makasih ya. Sekarang aku tahu alasannya kenapa banyak orang memilih  pantai sebagai tempat pacaran. Karena bisa ngobrol sambil jalan pelan-pelan, dan nggak cepat sampai di tujuan, ha..ha..ha..,” kamu tertawa memamerkan barisan gigimu yang rapih.

Sayangnya, senja mulai beranjak menuju malam. Pantai mulai sepi. Artinya, kenangan kami bersama buih ombak pantai harus diakhiri. Dengan berat hati, aku mengantarmu pulang.
Ya, itulah kenangan  manis sekaligus pahit bersamamu. Karena ternyata hari itu adalah untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu kamu bahkan tak pernah menemuiku lagi di pantai  itu.

***
Matahari mulai tersenyum agak lebar. Punggungku terasa hangat kini. Perlahan aku bangkit dari bangku taman. Menjauh dari pohon flamboyant, menuju ruanganku. Melanjutkan aktivitas seperti biasanya, mengajari anak-anak membaca…

Aku merasa seperti telah minum sebutir suplemen. Profilmu yang baru saja hadir di benakku ibarat penyemangat bahwa kita pernah bersama-sama saling berbagi tentang sebuah cita-cita. Terkadang ketika motivasi berkaryaku melemah, aku sengaja mengenangmu. Kusadari betul akibatnya, tapi biar. Mengenang saat-saat bersamamu memang lebih sering membuat hatiku tercubit-cubit dengan lembut. Tepatnya, mungkin seperti rasa gatal yang ingin digaruk. Ahhh…

Selamat menikmati kesibukanmu, mengurus dua anak kembarmu yang pasti lucu dan cantik seperti ibunya. Saatnya aku kembali bekerja lagi, Sayang. Selamat pagi.

Langit Lembang, 23 Desember 2010

2 komentar:

  1. Wow so sweet....selama ini aku khawatir ombak laut yg menyisi ke pantai telah menghilangkan nama dan tapak-tapak kecil kaki seseorang dari masa laluku, tapi postingan ini seolah berkata bahwa jejak-jejak itu masih ada dan mampu mengisi nuansa bathinku dengan kisah-kisahnya yang terputus dan hingga kini tak pernah kuketahui...

    BalasHapus
  2. Sebuah kenangan tersimpan rapi pada tempatnya..thx sudah singgah

    BalasHapus