Minggu, 06 Februari 2011

surat cinta untuk TJ: payung


PAYUNGMU YANG BERGAMBAR BUNGA SAKURA
Selamat siang, TJ

Hujan baru saja reda. 

Bekasnya belum mengering. Masih menggenangi pekaranganku. Membuat becek, dan noda. Ah, baiknya kubiarkan saja. Aku tak berniat membuatnya kering seketika. Aku percaya, seiring waktu dan tatapan matahari, basah perlahan  akan menguap. Alami, dengan sendirinya.
Kau tahu, musim penghujan terkadang membuat kita jadi serba salah. Hujan  terlalu lama dan deras, menahan kita untuk bepergian. Terkungkung, hanya diam di tempat. Kemudian, tanpa disadari, kita merindukan musim kemarau. Padahal sama saja. Ketika akhirnya datang, musim kemarau  membuat tubuh menjadi kering, kusam, dan haus. Malahan  membuat kepala pening. Terlebih  kemarau teramat panjang, membuat suntuk.

Saat hujan seperti ini,  aku  rindu dirimu. 

Sangat. Terutama pada sejumlah kenangan yang kita lalui bersama di saat hujan. Seringkali karena malas membawa, kau pinjami aku payung. Biasanya karena telah larut dan harus pulang. “Nih, makanya bawa payung, jadi enggak keujanan.” Begitu katamu, bernada marah tak serius. Aku cukup membalasnya dengan tersenyum. Tak apalah dimarahi, toh payungmu tetap kupinjam juga.
 Payungmu (yang bergambar bunga sakura)  memang telah beberapa kali  menyelamatkanku dari derasnya hujan. Setidaknya, tak terlalu kuyup. Payung yang selalu menghuni tasmu, tak perduli akan hujan atau terik. Hingga akhirnya, di kemudian hari, ingatanku akan  payung acapkali menyadarkanku untuk tak usah pergi jika tak bawa payung. Ah, dirimu dan payung itu…makin kukenang.

Pekaranganku belum lagi kering benar, malah sepertinya akan hujan lagi. 

Aku ingat. Ketika dulu terjebak di ujung gang. Berdiri, meneduh di emper warung rokok Pak Nana. Kau tahu, sayang. Alangkah menjemukan menunggu hujan reda entah sampai kapan. Ada beberapa orang waktu itu, semuanya lelaki. Sebagian melewatkan dingin dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. Lainnya bersidekap dengan pandangan menerawang, entah memikirkan apa. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Pak Nana sendiripun sembunyi saja di dalam warungnya sambil mengisi teka teki silang. Kelihatannya sedang malas untuk bekomunikasi.  Tak usah kutandaskan bahwa waktu itu amat kedinginan.
Lalu tiba-tiba  sang penyelamat itu datang. Kau menjemputku, dengan payung itu. Entah, mungkin semacam ilmu telepati atau kemistri atau  apa namanya. Acapkali, ketika wajahmu melintas dalam pikiranku, aku amat meyakini terjadi juga hal  sebaliknya (Seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Ketika ingat dirimu, maka ponselku akan bergetar. Muncul namamu dalam layar).
“Berani- beraninya pergi gak bawa payung!”. Begitu kau memarahiku. Selanjutnya, kalimat-kalimat lain berhamburan sepanjang gang yang kita lewati hingga menuju rumahmu. Aku menahan tawa. Tahukah kau?  Waktu itu  suaramu terdengar lebih mirip bunyi radio yang batrenya hampir habis dengan lagu yang itu-itu saja. Kadang suaranya keras kadang tak terdengar. Tak tahu apalagi yang kau ucapkan saat itu, aku sudah lupa. Seperti biasanya, aku tak perduli. Pikiranku telah terlebih dahulu dipenuhi bayangan  kasurmu yang menggeletak di lantai, hangatnya selimut tebal, dan camilan yang selalu ada di mejamu bersama setumpuk novel kesukaanmu. Selain itu, tentu saja yang amat  kurindukan hingga kini adalah secangkir kopi susu hangat yang kemudian kita nikmati bersama, secangkir berdua…

Hujan dan payungmu yang bergambar bunga sakura. 

Kemarin, aku sengaja melintas di warung rokok Pak Nana. Di ujung gang bekas rumah lamamu. Kuamati warungnya,  empernya, masih seperti dulu.  Tak ada yang berubah. Kuberdiri sejenak. Menikmati mengenang saat-saat indah itu. Betapa meluapnya kegembiraanku tatkala kuberpayung denganmu. Menembus, melabrak hujan  deras. Guyuran air hujan terasa membasahi ujung celana panjangku, lengan kemejaku, sandal kita, juga rokmu yang berwarna ungu. Kuingat,  diam-diam aku bahkan berterima kasih telah turun hujan.  Sungguh, amat  kunikmati suasana hujan kala itu. Begitu mengasyikan….Tapi sudahlah, aku tak berani berlama-lama. Harus segera pergi karena betapapun lamanya kumenanti di sana, kau bahkan tak kan sempat menjemputku..
Masih hujan dan payung.
Yang satu membuat basah, satunya lagi untuk melindungi agar tak basah. Nampaknya bertentangan, tapi berpasangan. Selalu ada dalam kesempatan yang sama. “Sedia payung sebelum hujan”, begitu bunyi ungkapannya. Ah, kulihat dimana ya tulisan itu? Di buku-buku SD, di toko barang kelontong, tertera pada stiker, di…ah, di banyak tempat barangkali. Tapi yang jelas, tulisan itu bersemayam dalam hatiku sejak aku selalu bersamamu.
Bicara soal berpasangan, kita memang bukan pasangan. Kita tak pernah mengakui menjadi pasangan, begitu katamu. Dalam beberapa hal kita memangmemiliki perbedaan. Tapi sekalipun begitu, kita tak berniat untuk membuatnya menjadi seragam, bukan?.
Aku menghargaimu jika tetap fanatik dengan warna ungu. Sungguhpun dalam keyakinanku warna ungu melambangkan keangkuhan, dingin dan sulit diajak berkomunikasi. Aku tak pernah keberatan jika  kau putar musik klasik di kamarmu. Musik yang terasa monoton jika diputar terus menerus, sanggahku. Kau bahkan juga bilang menyukai film horror. Benar-benar  selera yang aneh untuk gadis secantik dan selembut dirimu. Tapi apapun, bagiku setiap pribadi berhak memiliki perbedaan dengan diriku.
Hingga akhirnya kita menyadari bahwa hal-hal itulah   yang membuat kita tetap bersama. Saling menghargai. Kau adalah dirimu, dan aku adalah diriku, tanpa memperuncing sejumlah perbedaan.

Begitu sibuknyakah engkau? 

Selamat menuai hari yang selalu sibuk, Sayang..Ketika menelepon, kau katakan harimu begitu padat. Banyak pekerjaan harus dilakukan, sejak fajar hingga larut. Memang, dengan begitu banyak status sosial yang kau sandang, tentulah menyibukkan. Tak punya banyak waktu, bahkan untuk melihat album foto  kita sekalipun. Kau juga mengabarkan sedang bekerja keras untuk mengejar impianmu, sesuatu yang amat kau idamkan sejak dulu. Sebuah cita-cita yang aku meyakininya akan dicapai olehmu, suatu saat, mungkin tak berapa lama lagi.
“Tak usah dipikirkan, hanya untuk kau pahami,” begitu ucapmu suatu kali. Tahukah kau, ungkapan tersebut mengandung ribuan makna, bagiku. Sangat tidak mungkin aku mengabaikanmu. Sejak dulu, sungguh, aku sangat memahamimu. Tanpa kau minta, selamanya. Sampai kapanpun. Tapi sebuah pemahaman  tak bisa muncul begitu saja tanpa adanya  penjelasan, sanggahku.
Aku masih berharap kau mengijijkanku mengintip   dari lubang kecil di jendelamu untuk mensyukuri sejumlah kesibukan yang tengah membuatmu bahagia. Menurutku cukup adil karena aku tak mengganggu aktivitasmu, bukan?
Sekali lagi, aku terus berupaya memahamimu. Karenanya, meski sangat ingin berbagi, aku tak kan membebanimu dengan menceritakan betapa derasnya hujan mengguyur pekaranganku. Bahkan, telah melongsorkan beberapa bukit di sebelah sana…

Hujan baru saja reda, tapi tidak dengan rasa dinginnya…

Hujan selalu menyisakan hawa dingin. Apalagi di puncak bukit. Tepatnya di ketinggian yang dikelilingi pepohonon dengan sisa air hujan masih menggelayut diantara ranting dan daun-daunnya. Dapat kau bayangkan, aku berada di sana!
Sedianya, hati kecilku ingin meneleponmu. Tapi kabarnya, sinyal di tempatmu tak begitu baik. Sinyal yang tak stabil selalu menghasilkan jawaban sms yang permanen: “Iya, terima kasih”. Ah, sinyal yang menyebalkan!
Oleh karenanya, dengan berat hati, hanya bisa kukabarkan padamu: dari jendela kamarku, langit Lembang berwarna abu pucat. Arak-arakan mobil lalu lalang pergi dan pulang dari jantung kota Lembang. Kota yang menawarkan romantisme karena kesejukannya, kata sebagian orang. Sembari menatap panorama Bandung, dan genting-genting rumah yang nampak dari sini: Selamat siang, Sayang... Sedang apa disana?
Sejatinya hari ini adalah ulang tahunmu. Kusampaikan doa tulus dari lubuk hati yang paling dalam: semoga kau selalu bahagia di sampingnya……

Langit Lembang, februari 2010
“Kau dengan dirimu saja, kau dengan duniamu saja.., teruskanlah…’
dari AGNES MONICA: teruskanlah..

memperingati Ulang tahun TJ, 15 Januari 2010

4 komentar: