Minggu, 06 Februari 2011

SEBUAH PERTEMUAN DI SUDUT CAFÉ


SEBUAH PERTEMUAN DI SUDUT CAFÉ

“Aku ingin ketemu,”  suara TJ bergetar, terdengar dari ponselku.
Ada apa lagi nih. Aku memang agak perhatian pada sahabatku yang satu ini. Bila dia sudah berbicara dengan nada urgent seperti itu, biasanya ada hal penting yang ingin disampaikan. Pasalnya, secara kepribadian, terkadang dia terlihat agak rapuh. Ibarat mobil yang sedang menaiki tanjakan, adakalanya sesekali mesti didorong, atau dimotivasi.

Akhirnya kami sepakat bertemu di sebuah café, di jalan Setiabudhi. Dua cangkir kopi susu dan dua potong roti bakar berbumbu coklat baru saja diantar sang pelayan. Menu  ini menjadi favorit kami sejak dulu.

“Kamu tau,  Koem. Seringkali rasa  minderku muncul. Setiap bertemu dengan teman-teman  mereka selalu menanyakan aktivitasku. Sebal rasanya. Kenapa sih selalu ditanyakan?  Aku sudah menjawab: sekarang aku ibu rumah tangga. Tapi mereka tetap tak percaya. Lha, aku mesti bilang apa?. Aku memang cuma seorang ibu rumah tangga kok. Di KTP juga tertulis begitu.” . TJ mulai memberondongku dengan keluhannya.
“Lalu apa salahnya dengan profesimu sebagai ibu rumah tangga?” aku masih belum memahami arah pembicaraannya. Kureguk kopi susu dari cangkir.
“Kamu ini gimana, sih!  Nggak ngerti perasaanku. Kamu enak,  bisa mengatakan bahwa kamu seorang guru, punya pekerjaan. Sementara aku? Aku mantan  sekretaris.  Iya, mantan karena di PHK dan pekerjaanku saat ini cuma sebagai ibu rumah tangga. Aktivitasku sehari-hari tak lebih dari mengurus rumah, mengantar dan menjemput anak. Aku merasa tak dihargai, Koem….” Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
Aku memang turut prihatin. Karena pemindahan  status perusahaan yang bermerger dengan perusahaan lain membuat pimpinannya yang baru  harus memberhentikan sepertiga jumlah karyawannya, dan TJ salah satunya.
Empati memang selayaknya kuekspresikan. Tapi menurutku,  kadang TJ terlalu bermain perasaan, sehingga mengabaikan hal yang bersifat logika.Ya, barangkali karena dia berada dalam posisi sebagai  korban. Untungnya, sejauh ini,  kegelisahannya masih dapat ditolerir. Beberapa korban PHK lainnya  bahkan mengalami post power syndrome, sebuah kondisi dimana seseorang merasa kehilangan  potensi  dirinya, termasuk harga dirinya.

“Jadi kamu maunya  gimana? Ingin punya pekerjaan atau ingin penghargaan? Apa menurutmu  jadi ibu rumah tangga bukan sebuah profesi? “  Hati-hati, aku bertanya padanya.  ” TJ, dengar ya….  pengargaan dari orang lain akan  datang  dengan sendirinya, jika kita bisa menghargai diri kita sendiri. Jadi amat penting bagimu memiliki kebanggaan pada diri sendiri. Justru seharusnya kamu merasa bangga dan bersyukur karena posisimu sekarang,  anak-anakmu terbimbing. Lihat saja, anakmu si cikal juara olimpiade matematika tingkat kabupaten. Dan si bungsu, seorang penari yang sering manggung, bahkan sering muncul di TV lokal. Apa yang kurang dari dirimu?” 

TJ diam, mungkin sedang meresapi apa yang barusan kukatakan. Kesempatan ini kupergunakan untuk melanjutkan menasehatinya.

“Jika   sekarang  kamu adalah seorang ibu rumah tangga, maka berbanggalah karena kamu telah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dengan begitu maka perasaanmu akan menjadi nyaman. Dan ketika suasana hatimu tentram, maka Insya Alloh pikiranmu akan terbuka untuk memperoleh ide tentang berbagai hal, apapun itu.”
Setelah pembicaraan di café itu, sebulan kemudian, TJ meneleponku.

“Koem, aku punya profesi baru. Sekarang, aku driver lho….mobilku kujadikan antar-jemput. Jadi sambil  nganter dan jemput si bungsu, sekaligus juga antar jemput teman-temannya. Lumayanlah….hasilnya bisa untuk beli lipstick, hahaha…”. Tawanya terdengar lepas, penuh kegembiraan.
Aku tersenyum. Terima kasih Tuhan, jika atas ijin-Mu,  diriku memberikan inspirasi  bagi orang lain.

Langit Lembang, 18 Januari 2011

4 komentar: