Minggu, 06 Februari 2011

surat cinta untuk TJ: flamboyant

Surat cinta untuk TJ: flamboyant

Selamat pagi menjelang siang, TJ

Langit Lembang agak cerah pagi ini. Sinar mentari menyemburatkan  warna oranye pada latar langit kebiruan. Menghangati. Membuat cerah pada warna-warni yang ditimpanya. Indah sekali jika kamu bisa merasakannya. Panorama seperti ini biasanya ditunggu banyak orang. Jadi, amat disayangkan jika pagi ini tak digunakan untuk berjemur.

Ayo kemari, sayang. Temani aku. Duduk sendirian di bangku taman terasa tak mengenakan. Kesepian. Ayo rasakan, kehangatan  mentari jatuh menerpa punggung, menjalari sekujur tubuh. Sungguh Nikmat, apalagi setelah beberapa hari ke belakang  kota Lembang  selalu diterjang angin dingin yang membuat tubuh menggigil.
                                                                   ***
Aku amat suka duduk disini, di bangku taman. Dekat dengan  pohon flamboyant yang di ujung daunnya masih bersisa embun, bekas hujan semalam. Awalnya  tak tahu kenapa. Belakangan baru kusadari, bunga flamboyant mengingatkanku padamu. Kau amat menyukainya. Apalagi ketika musim berbunga. Sangat indah, katamu. Berwarna semarak, menebar di sana sini.

Sedang apakah dirimu sekarang? Menyulam,  melukis, membaca?

Biarlah, tak begitu penting kau sedang apa, lanjutkan saja. Sambil kau tetap beraktivitas, kita berbincang tentang kisah lama ya.
Pada masa lalu kita sering berdiskusi tentang banyak hal. Kau adalah teman diskusi yang baik. Tema diskusi kita kadangkala bersifat serius. Sering juga, karena perbedaan pendapat  membuat kita tak bertegur sapa seharian. Sesudah baikan lagi, baru kita mengganggap lucu karenanya.

Salah satu yang kuingat adalah perbedaan sudut pandang  kita dalam menyikapi pernikahan di usia muda. Aku berpendapat pernikahan membutuhkan konsentrasi, kesungguhan dan kesiapan dalam banyak hal, termasuk materi. Aku maunya menikah setelah lulus kuliah dan bekerja. Aku akan punya penghasilan sendiri sehingga tak perlu merepotkan orang tua. Sementara, pendapatmu bersebrangan. Katamu, soal materi tak usahlah dibuat rumit, yang penting patuh pada komitmen kesetiaan. Katamu lagi, pernikahan dapat membawa berkah pada banyak hal termasuk urusan rejeki dari Tuhan. Jadi ketika keinginan menikah telah begitu kuat, maka segeralah menikah.

Sudahlah, kita mengenang yang indah-indah saja ya, sayang. Jika diprosentasi, tampaknya kita banyak merajut sejumlah kisah  dengan perasaan gembira. Tawa dan canda selalu menghiasi hari-hari kita.

Aku selalu mengagumimu. Kamu memang  perempuan lembut, namun ternyata  juga pandai membuat cerita lucu. Bahkan ketika  menghadapi  hal serius pun akan dibahas menjadi sesuatu yang bisa dipahami dari sisi humor.

Sekarang mari kita tempelkan aksesoris pada kisah kita. Menyematkan kolase, pita, renda…agar cerita terdengar jauh lebih indah dari aslinya. Kata orang, sebuah cerita akan lebih indah apabila dibumbui dengan imajinasi. Selanjutnya, tanpa sadar kita akan menginginkan cerita itu berulang sesuai dengan imajinasi yang kita ciptakan. Benar, sayang?

Kamu ingat, suatu ketika kita pernah pergi ke pantai. Dulu sekali. Sebelumnya, aku pernah mengajukan beberapa ide untuk mengisi liburan kita. Aku tawarkan apakah kita akan mengunjungi  pegunungan, teluk, danau atau pantai. Kamu memilih pantai. Katanya, karena kamu berasal dari  daerah pegunungan, maka suasana pantai selalu membuatmu takjub. Kita menikmatinya beberapa hari kemudian….

Sebuah pantai yang indah, ucapmu ketika kita baru saja tiba. Aku hanya tersenyum. Tak perlu dikomentari. Aku adalah seorang anak yang dibesarkan di tepi laut. Memandangi perahu-perahu nelayan  lalu lalang saat pulang dan pergi melaut, mengobrol sambil menemani mereka  merajut jaring ikan, menghirup aroma  ikan yang dijemur berjajar di atas tampah pada siang yang terik…. merupakan beberapa hal yang kusantap setiap hari.

Pantai, letaknya sangat dekat rumahku. Tak perlu berkendaraan. Cukup berjalan kaki  kira-kira sepuluh menit, maka sampailah. Oleh karena itu, bagiku, elemen-elemen pantai tampak biasa saja. Pasir, karang, ombak, batas pandang, perahu, pohon bakau, semilir angin, pun matahari yang terbit atau tenggelam…..

“Gak usah pake sandal. Sini, rasakan riak ombak menyentuh kaki kita, hmh..” katamu. Mengajakku bertelanjang kaki, berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Telapak kaki kita meninggalkan jejak pada pasir yang lembut. Kadang kamu  agak melompat-lompat  untuk membuat jejak kakimu lebih dalam, sambil tertawa-tawa kecil. Ceria sekali. Kulihat kegembiraan dalam dirimu meletup-letup. Menghasilkan  sesuatu yang  berbinar di matamu, berkerlap-kerlip seperti gugusan bintang. Kamu tahu, sayang. Bagian ini yang amat kusuka darimu, sehingga membuatku ketagihan untuk mengulangnya kembali dalam bentuk yang lain.

Waktu itu sore hari. Matahari hampir tenggelam, membiaskan warnanya yang tembaga. Memantul pada permukaan air laut. Aku mengikuti langkahmu, bersejajar mengiringimu. Terlihat tinggal beberapa orang sedang menikmati pula indahnya pantai. Meskipun mereka juga berpasangan, kami tak begitu saling perduli.

Kadang-kadang aku pun melakukan hal serupa ini. Kalau sedang jenuh. Berjalan-jalan sendirian menyusuri tepi pantai. Sekadar membiarkan angin pantai menerpa tubuhku. Tentu, aku agak hapal pada batas pantai mana yang bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. Tapi sungguh, antara berjalan-jalan sendirian dengan ditemani seseorang ternyata berbeda rasanya. Sepertinya suasana pantai berubah jadi romantis dan syahdu.

Kurasakan angin lebih lembut berdesir. Ombak pun tak terlalu besar sehingga  permukaan laut tampak lebih jinak. Terbawa suasana, entah siapa yang memulai terlebih dahulu, tapi tangan kita kemudian bergandengan, saling bergenggaman…

Untuk beberapa saat kita hanya berjalan-jalan saja, tanpa berkata-kata. Tiba-tiba kamu berhenti untuk memungut. “Nih, Ada sepotong ranting.” Memberikannya padaku yang menatapmu keheranan. “Ayo tulis nama kita, di sini, di pasir ini…”
“Disini..?” tanyaku sembari menunjuk pasir. “Ya, disini..” kamu pun menegaskan. Busyet, apapunlah tapi jangan itu! Menuliskan nama kami di atas pasir sungguh merupakan suatu…perbuatan yang amat sangat meniru sinetron, novel teenlit, atau cerita percintaan  film jadul yang dibintangi oleh aktris Rano Karno dan Lidya Kandow.

Seribu persen, saat itu aku ingin menghindar. Mengharap tiba-tiba turun hujan, pura-pura tertidur, atau apa saja! Tapi seolah memahami keraguanku, kamu menatapku, menusuk. Dalam tatapanmu ada setangkup permohonan. Ya, seperti biasanya aku tak kuasa menolak. Ada serupa telaga di matamu yang di dalamnya berisi air yang jernih, segar, menyejukkan dan melenakan. Sehingga ketika aku selesai bermandi-mandi, kesegaran itu masih menempel lama di tubuhku. Lalu aku tak pernah bisa sembunyi dari  apapun permintaanmu….

Kemudian aku  menuliskan nama kita di atas pasir. Kamu menambahkan kontur serupa daun di sekelilingnya. Kamu tatap beberapa saat. Sepertinya hal itu membuatmu haru. Tak berapa lama, kita berlalu meninggalkannya. Melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Ketika kutengok ke belakang, ombak kecil telah menjilatnya. Syukurlah…Entah, diantara yang lainnya, sepertinya  peristiwa itu yang menurutku paling menggelikan.

Sejenak kita duduk di atas pasir yang kering. Berselonjor kaki, melepas lelah. Butiran pasir menempel pada rokmu dan celana panjangku. Kita berdua asyik memandang matahari yang sebentar lagi merebahkan tubuhnya setelah sepanjang siang sibuk tersenyum sambil memelototi kita. Kamu tak berkata-kata. Agak lama. Aku membiarkannya. Kutahu kamu sedang melahap pesona tebaran  sinar matahari yang memantul pada permukaan laut dengan matamu yang indah.  Kamu juga sedang menikmati desir angin pantai menyentuh kulitmu yang halus, dan mempermainkan ujung rambutmu yang sesekali melintas  di  wajahku. Kamu sedang menyimpan semuanya dalam kenanganmu….

“Kau suka?” tanyaku. Ah, pertanyaan basa-basi. Karena dari bahasa tubuhmu aku sudah tahu jawabannya.
“Sangat. Makasih ya. Sekarang aku tahu alasannya kenapa banyak orang memilih  pantai sebagai tempat pacaran. Karena bisa ngobrol sambil jalan pelan-pelan, dan nggak cepat sampai di tujuan, ha..ha..ha..,” kamu tertawa memamerkan barisan gigimu yang rapih.

Sayangnya, senja mulai beranjak menuju malam. Pantai mulai sepi. Artinya, kenangan kami bersama buih ombak pantai harus diakhiri. Dengan berat hati, aku mengantarmu pulang.
Ya, itulah kenangan  manis sekaligus pahit bersamamu. Karena ternyata hari itu adalah untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu kamu bahkan tak pernah menemuiku lagi di pantai  itu.

***
Matahari mulai tersenyum agak lebar. Punggungku terasa hangat kini. Perlahan aku bangkit dari bangku taman. Menjauh dari pohon flamboyant, menuju ruanganku. Melanjutkan aktivitas seperti biasanya, mengajari anak-anak membaca…

Aku merasa seperti telah minum sebutir suplemen. Profilmu yang baru saja hadir di benakku ibarat penyemangat bahwa kita pernah bersama-sama saling berbagi tentang sebuah cita-cita. Terkadang ketika motivasi berkaryaku melemah, aku sengaja mengenangmu. Kusadari betul akibatnya, tapi biar. Mengenang saat-saat bersamamu memang lebih sering membuat hatiku tercubit-cubit dengan lembut. Tepatnya, mungkin seperti rasa gatal yang ingin digaruk. Ahhh…

Selamat menikmati kesibukanmu, mengurus dua anak kembarmu yang pasti lucu dan cantik seperti ibunya. Saatnya aku kembali bekerja lagi, Sayang. Selamat pagi.

Langit Lembang, 23 Desember 2010

CEMBURU

CEMBURU

mendamparku pada sunyi tengah malam
alihkan bingar
tubuhku
pada sehampar kain
demi membingkai khusyuk

 
menggigilkanku  lewat  kabut  pekat
selaksa  beku  mendera
gemeretak  lantunkan  madah
maknai diri  nan  dhaif

cemburu
pada gadis suci dalam  mihrab



Langit Lembang, 28 Desember 2010

KEAJAIBAN TEMAN


Teman

Setelah Sepanjang hari kita menjalani aktivitas, belajar, bekerja, dan lain-lain. Kadangkala, kita ingin bersantai sejenak dan  melewatkannya bersama teman-teman. Dengan kata lain, kita membutuhkan kehadiran teman di samping kita. Yang paling ringan mungkin untuk sekedar bercanda atau mengobrol. Yang paling serius, kita mungkin butuh teman untuk saling berbagi.
Saya tak ingin mengetahui lebih jauh berapa jumlah teman anda. Saya akan mengatas nama kan “kita” saja. Artinya, dalam pembicaraan ini saya dan anda ada di dalamnya. Kita punya teman kan? Tak ada yang perduli berapa jumlah teman kita. Mungkin Cuma seorang, dua, tiga , empat atau mungkin sepuluh.
Siapa sih teman itu? Apa artinya teman bagi kita? Apa gunanya teman? Sekarang, Mari kita mengibaratkan pertemanan kita dengan lingkaran-lingkaran di bawah ini. Pertemanan kita ibarat lingakaran yang memiliki bulatan berlapis-lapis di dalamnya.



 










Lingkaran 1, adalah lingkaran yang paling besar. Karena besar, di wilayah ini jumlah teman kita paling banyak, mungkin 200 orang atau lebih. Di wilayah ini pertemanan kita hanya sebatas  saling mengenal, tahu nama masing-masing.Yang kita lakukan biasanya hanya saling melempar senyum  atau mungkin juga cuma saling menyapai “Hai”. Kita tidak memiliki iformasi lebih jauh kecuali nama, alamat, kelas..
Lingkaran 2. Besar lingkarannya agak menyempit dari yang pertama. Di wilayah ini mungkin kita memiliki 30 orang teman. Informasi yang kita miliki tentang mereka agak lengkap. Selain nama dan alamat, kita juga mengetahui sedikit tentang informasi keluarganya, anaknya, mungkin juga dari  daerah mana kita berasal. Kedekatan diantara kita mungkin sudah dalam taraf pergi bersama-sama dalam situasi liburan dan saling  mengobrol tentang aktivitas yang sedang dilakukan….
Lingkaran 3, luas lingkarannya lebih menyempit dari pada yang ke 2. Di wilayah ini teman kita mungkin tak lebih dari sepuluh. Tetapi yang patut digarisbawahi adalah hubungan pertemanan kita sangat dalam dan intens. Kita sering pergi bersama, saling berkunjung ke rumah. Saling berkirim sms, telepon, mungkin sudah dalam taraf saling curhat. Biasanya, teman kita yang berada dalam lingkaran ini  mengetahui kesulitan apa yang sedang kita hadapi. Biasanya, terjadi juga…Saling memberi nasehat dan saling membantu atau tolong menolong….

Setelah mengamati lingkaran-lingkaran itu, mari kita renungkan. Di manakah posisi “dia” sebagai teman kita?  Apakah kita menempatkannya berada  di lingkaran ke 1, 2 atau 3. Alangkah malangnya pabila kita merasa menempatkan “dia” di lingkaran ke 3, lingkaran yang paling intens, akan tetapi tidak terjadi sebaliknya!  Ternyata “Dia”  hanya menempatkan kita di lingkaran ke 2 !
Mari kita renungkan sejenak….
Ketika kita memilih seorang teman, tak ada yang salah dengan pilihan itu. Karena sedikit banyak pasti memiliki kesamaan dengan kita. Mungkin kesamaan hobi, selera, aktivitas atau apapun..tak ada yang salah dengan itu semua…
Yang kemudian patut di pelajari adalah penempatannya. Apakah teman berguna hanya ketika kita sedang menikmati masa masa indah saja, jalan-jalan, nonton, makan-makan?  Atau teman juga berada ketika kita sedang dalam masa sulit? Ketka patah hati, ketika ada anggota keluarga yang sakit , ketika sedang sedih yang tidak tahu apa penyebabnya…

Persahabatan adalah sesuatu yang berisi kata “SALING”.  Persahabatan tidak hanya berisi kata saling ketika dalam suasana kegembiraan saja, dalam suasana hura-hura saja, dalam suasana makan-makan saja. Ungkapan saling lebih bermakna kehadirannya dalam situasi saling memafkan, saling membantu, saling menolong, saling memberi nasehat, saling member kebahagiaan. Maka ketika “dia” sedang berada dalam kesulitan, seorang sahabat biasanya akan memiliki rasa simpati hingga empati…kemudian akan terbersit kata   ……“what can I do for you?”

Ketika dia memilih kita sebagai teman dalam suka dan duka…Sudahkah kita menjadi sahabat terbaik bagi “dia” ?

Sayup-sayup kudengar MP3 dari laptopku  “That’s  what’s friend are for” dari Agnes Monica feat Harvey Malaiholo…


Langit Lembang, 8 Maret 2010

Untuk para sahabatku:
dalam suka dan duka
dalam sedih dan senang
dalam gembira dan menangis

SEBUAH PERTEMUAN DI SUDUT CAFÉ


SEBUAH PERTEMUAN DI SUDUT CAFÉ

“Aku ingin ketemu,”  suara TJ bergetar, terdengar dari ponselku.
Ada apa lagi nih. Aku memang agak perhatian pada sahabatku yang satu ini. Bila dia sudah berbicara dengan nada urgent seperti itu, biasanya ada hal penting yang ingin disampaikan. Pasalnya, secara kepribadian, terkadang dia terlihat agak rapuh. Ibarat mobil yang sedang menaiki tanjakan, adakalanya sesekali mesti didorong, atau dimotivasi.

Akhirnya kami sepakat bertemu di sebuah cafĂ©, di jalan Setiabudhi. Dua cangkir kopi susu dan dua potong roti bakar berbumbu coklat baru saja diantar sang pelayan. Menu  ini menjadi favorit kami sejak dulu.

“Kamu tau,  Koem. Seringkali rasa  minderku muncul. Setiap bertemu dengan teman-teman  mereka selalu menanyakan aktivitasku. Sebal rasanya. Kenapa sih selalu ditanyakan?  Aku sudah menjawab: sekarang aku ibu rumah tangga. Tapi mereka tetap tak percaya. Lha, aku mesti bilang apa?. Aku memang cuma seorang ibu rumah tangga kok. Di KTP juga tertulis begitu.” . TJ mulai memberondongku dengan keluhannya.
“Lalu apa salahnya dengan profesimu sebagai ibu rumah tangga?” aku masih belum memahami arah pembicaraannya. Kureguk kopi susu dari cangkir.
“Kamu ini gimana, sih!  Nggak ngerti perasaanku. Kamu enak,  bisa mengatakan bahwa kamu seorang guru, punya pekerjaan. Sementara aku? Aku mantan  sekretaris.  Iya, mantan karena di PHK dan pekerjaanku saat ini cuma sebagai ibu rumah tangga. Aktivitasku sehari-hari tak lebih dari mengurus rumah, mengantar dan menjemput anak. Aku merasa tak dihargai, Koem….” Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
Aku memang turut prihatin. Karena pemindahan  status perusahaan yang bermerger dengan perusahaan lain membuat pimpinannya yang baru  harus memberhentikan sepertiga jumlah karyawannya, dan TJ salah satunya.
Empati memang selayaknya kuekspresikan. Tapi menurutku,  kadang TJ terlalu bermain perasaan, sehingga mengabaikan hal yang bersifat logika.Ya, barangkali karena dia berada dalam posisi sebagai  korban. Untungnya, sejauh ini,  kegelisahannya masih dapat ditolerir. Beberapa korban PHK lainnya  bahkan mengalami post power syndrome, sebuah kondisi dimana seseorang merasa kehilangan  potensi  dirinya, termasuk harga dirinya.

“Jadi kamu maunya  gimana? Ingin punya pekerjaan atau ingin penghargaan? Apa menurutmu  jadi ibu rumah tangga bukan sebuah profesi? “  Hati-hati, aku bertanya padanya.  ” TJ, dengar ya….  pengargaan dari orang lain akan  datang  dengan sendirinya, jika kita bisa menghargai diri kita sendiri. Jadi amat penting bagimu memiliki kebanggaan pada diri sendiri. Justru seharusnya kamu merasa bangga dan bersyukur karena posisimu sekarang,  anak-anakmu terbimbing. Lihat saja, anakmu si cikal juara olimpiade matematika tingkat kabupaten. Dan si bungsu, seorang penari yang sering manggung, bahkan sering muncul di TV lokal. Apa yang kurang dari dirimu?” 

TJ diam, mungkin sedang meresapi apa yang barusan kukatakan. Kesempatan ini kupergunakan untuk melanjutkan menasehatinya.

“Jika   sekarang  kamu adalah seorang ibu rumah tangga, maka berbanggalah karena kamu telah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dengan begitu maka perasaanmu akan menjadi nyaman. Dan ketika suasana hatimu tentram, maka Insya Alloh pikiranmu akan terbuka untuk memperoleh ide tentang berbagai hal, apapun itu.”
Setelah pembicaraan di café itu, sebulan kemudian, TJ meneleponku.

“Koem, aku punya profesi baru. Sekarang, aku driver lho….mobilku kujadikan antar-jemput. Jadi sambil  nganter dan jemput si bungsu, sekaligus juga antar jemput teman-temannya. Lumayanlah….hasilnya bisa untuk beli lipstick, hahaha…”. Tawanya terdengar lepas, penuh kegembiraan.
Aku tersenyum. Terima kasih Tuhan, jika atas ijin-Mu,  diriku memberikan inspirasi  bagi orang lain.

Langit Lembang, 18 Januari 2011

KATA KATA POSITIF


KATA-KATA POSITIF
oleh Bu Nani Bk pada 20 Januari 2011 jam 22:07
Seminggu yang lalu saya membeli kalender meja tahun 2011. Sebetulnya mungkin terlambat karena biasanya orang lain  telah menyiapkannya sejak bulan desember tahun lalu. Tapi bagi saya, biarlah daripada tak punya. Entah kenapa, tahun ini saya memang hanya punya satu kalender di rumah...Saya bilang pada suami saya: apakah sekarang orang-orang sudah tidak semangat  bikin kalender ya ? Sehingga pasokan kalender dari relasi berkurang dari biasanya.

Menariknya dari kalender yang saya beli adalah pada kalender tersebut tertera kata-kata sugestif dan positif. Kebanyakan bersumber dari ayat-ayat Al-Quran, Hadist atau kata-kata mutiara. Mungkin itulah alasannya kenapa saya tertarik memilih kalender tersebut ketimbang kalender bergambar/ foto artis.

Biasanya saya sengaja memperoleh(mencari)  kata-kata positif/sugestif dari Facebooknya  Mario teguh atau  Facebooknya Positif Thinking. Setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari beliau menguploadnya. Dan saya selalu membacanya, menyimaknya. Bagi saya, kata-kata positif ibarat kita dianjurkan minum air bening delapan gelas sehari,demi kesehatan, karena memang kita membutuhkannya. sebab jika tidak, maka kemungkinan kita akan menderita dehidrasi.

Kenapa saya menganggap kata-kata positif begitu penting? Logikanya begini: jika kita memulai kehidupan  pada pukul  lima pagi dan memejamkan mata  untuk mengistirahatkan tubuh pada pukul sembilan malam, maka kita telah berkomunikasi dengan alam semesta selama kurang lebih enam belas jam. Selama itu pula kita telah menerima berbagai stimulus (rangsangan), baik yang bersifat positif maupun negatif.

Jika sepanjang waktu tersebut kita  mendapatkan respon positif (tunjangan penghasilan naik, para siswa berlaku baik dan sopan, dapat bonus/hadiah dari produk yang kita konsumsi, dll), maka dapat dipastikan hati kita bahagia dan  dalam tidurpun kita akan tersenyum...

Tapi coba sebaliknya. Selama waktu tersebut mungkin saja kita bersentuhan dengan benda mati yang menjengkelkan  (meja yang rusak, pulpen yang tintanya habis, dll), atau  dengan makhluk hidup yang telah menghabiskan kesabaran  seperti binatang (ayam yang berak di pekarangan, tikus yang menggigiti buku, dll). Dan karena kita adalah manusia, tentunya  yang paling sering akan  bersinggungan dengan manusia lainnya (supir angkot yang lambat, siswa yang tidak mengerjakan PR, kalimat tak berkenan dari orang lain, dll)....Jika sepanjang hari kita mengalami hal-kal demikian, apa yang terjadi?

Kemungkinan yang  terjadi adalah: energi positif kita tersedot. Berkurang, bahkan mungkin habis. Dalam tubuh kita hanya tersisa energi negatif. Energi yang menggerakkan kita untuk berpikir negatif tentang apapun, bahkan mungkin tentang orang lain Akibatnya, kita terbawa emosi, uring uringan, lepas kontrol dalam bicara dan berperilaku. Lebih dahsyat lagi, kita membuka permasalahan baru!

Entah penting atau tidak untuk anda, tapi bagi saya: saling berbagi energi positif diantara kita amatlah penting. Terserah bentuknya apa, mungkin ada yang suka saling berbagi pengetahuan tentang ilmu agama, ilmu memasak, ilmu mendidik anak, ilmu mengatur anggaran belanja, atau hal lainnya. Apapun itu, asal kesemuanya bermuara pada saling mendukung secara positif, tentu amat bermanfaat.


Nah, kata-kata positif dari kalender meja saya hari ini, amat menarik, menyentuh. Saya tidak ujub untuk dapat mengaplikasikan semuanya atau sekaligus. Tidak, sekali lagi tidak!  sebagai manusia, saya hanya berharap suatu saat, entah kapan..hanya tuhan yang tahu. Saya sekadar ingin berbagi saja  dengan anda, khususnya kaum perempuan.

Baik, saya buka ya kalendernya. Hari ini, Kamis, tanggal 20 Januari 2011:

"Untuk kecantikan anda, bermake-uplah ke salon iman, hiasi mata dengan menundukkan pandangan, niscaya mata semakin bening dan jernih. Warnai bibir dengan lipstik kejujuran, niscaya bibir semakin manis saja. Merahkanlah pipi dengan rasa malu, niscaya semakin menawan. Cucilah rambut dari ketombe pandangan liar dengan jlbab penutup yang rapat, niscaya akan aman. bersihkanlah diri dari dosa dan kesalahan dengan sabun istigfar, niscaya semakin putih jiwa anda. oleskan lulur kasih sayang, niscaya akan semakin lembut hati anda. (HIKMAH)"

Semoga bermanfaat. Amin.

Langit Lembang, 20 Januari 2011

RINDU UNTUK SAHABAT


Rindu, untuk Ida Heryati dan Tika Januarti

aku mencium harum dirimu, Dinda
menyeruak  dari sela-sela rambutmu, karna itu
coba kugapai
ingin kupilin-pilin rambut panjangmu
kulaju, melintasi hamparan jarak

aku menantikanmu, Dinda
segelas air jeruk menemani
oranye, seperti kisah kita di masa silam
dalam warna masa kanak-kanak yang bersahaja

kucari anggunmu dalam senyuman manis
gelak tawa dan canda
detik demi detik, hingga
waktu memengal perjumpaan, kau
tetap dalam bayang-bayang

kau tahu, Dinda
rindu masih berjatuhan
dari kuku jari-jariku, entah
sampai kapan

Langit Lembang, 24 Mei 2010

surat cinta untuk TJ: payung


PAYUNGMU YANG BERGAMBAR BUNGA SAKURA
Selamat siang, TJ

Hujan baru saja reda. 

Bekasnya belum mengering. Masih menggenangi pekaranganku. Membuat becek, dan noda. Ah, baiknya kubiarkan saja. Aku tak berniat membuatnya kering seketika. Aku percaya, seiring waktu dan tatapan matahari, basah perlahan  akan menguap. Alami, dengan sendirinya.
Kau tahu, musim penghujan terkadang membuat kita jadi serba salah. Hujan  terlalu lama dan deras, menahan kita untuk bepergian. Terkungkung, hanya diam di tempat. Kemudian, tanpa disadari, kita merindukan musim kemarau. Padahal sama saja. Ketika akhirnya datang, musim kemarau  membuat tubuh menjadi kering, kusam, dan haus. Malahan  membuat kepala pening. Terlebih  kemarau teramat panjang, membuat suntuk.

Saat hujan seperti ini,  aku  rindu dirimu. 

Sangat. Terutama pada sejumlah kenangan yang kita lalui bersama di saat hujan. Seringkali karena malas membawa, kau pinjami aku payung. Biasanya karena telah larut dan harus pulang. “Nih, makanya bawa payung, jadi enggak keujanan.” Begitu katamu, bernada marah tak serius. Aku cukup membalasnya dengan tersenyum. Tak apalah dimarahi, toh payungmu tetap kupinjam juga.
 Payungmu (yang bergambar bunga sakura)  memang telah beberapa kali  menyelamatkanku dari derasnya hujan. Setidaknya, tak terlalu kuyup. Payung yang selalu menghuni tasmu, tak perduli akan hujan atau terik. Hingga akhirnya, di kemudian hari, ingatanku akan  payung acapkali menyadarkanku untuk tak usah pergi jika tak bawa payung. Ah, dirimu dan payung itu…makin kukenang.

Pekaranganku belum lagi kering benar, malah sepertinya akan hujan lagi. 

Aku ingat. Ketika dulu terjebak di ujung gang. Berdiri, meneduh di emper warung rokok Pak Nana. Kau tahu, sayang. Alangkah menjemukan menunggu hujan reda entah sampai kapan. Ada beberapa orang waktu itu, semuanya lelaki. Sebagian melewatkan dingin dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. Lainnya bersidekap dengan pandangan menerawang, entah memikirkan apa. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Pak Nana sendiripun sembunyi saja di dalam warungnya sambil mengisi teka teki silang. Kelihatannya sedang malas untuk bekomunikasi.  Tak usah kutandaskan bahwa waktu itu amat kedinginan.
Lalu tiba-tiba  sang penyelamat itu datang. Kau menjemputku, dengan payung itu. Entah, mungkin semacam ilmu telepati atau kemistri atau  apa namanya. Acapkali, ketika wajahmu melintas dalam pikiranku, aku amat meyakini terjadi juga hal  sebaliknya (Seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Ketika ingat dirimu, maka ponselku akan bergetar. Muncul namamu dalam layar).
“Berani- beraninya pergi gak bawa payung!”. Begitu kau memarahiku. Selanjutnya, kalimat-kalimat lain berhamburan sepanjang gang yang kita lewati hingga menuju rumahmu. Aku menahan tawa. Tahukah kau?  Waktu itu  suaramu terdengar lebih mirip bunyi radio yang batrenya hampir habis dengan lagu yang itu-itu saja. Kadang suaranya keras kadang tak terdengar. Tak tahu apalagi yang kau ucapkan saat itu, aku sudah lupa. Seperti biasanya, aku tak perduli. Pikiranku telah terlebih dahulu dipenuhi bayangan  kasurmu yang menggeletak di lantai, hangatnya selimut tebal, dan camilan yang selalu ada di mejamu bersama setumpuk novel kesukaanmu. Selain itu, tentu saja yang amat  kurindukan hingga kini adalah secangkir kopi susu hangat yang kemudian kita nikmati bersama, secangkir berdua…

Hujan dan payungmu yang bergambar bunga sakura. 

Kemarin, aku sengaja melintas di warung rokok Pak Nana. Di ujung gang bekas rumah lamamu. Kuamati warungnya,  empernya, masih seperti dulu.  Tak ada yang berubah. Kuberdiri sejenak. Menikmati mengenang saat-saat indah itu. Betapa meluapnya kegembiraanku tatkala kuberpayung denganmu. Menembus, melabrak hujan  deras. Guyuran air hujan terasa membasahi ujung celana panjangku, lengan kemejaku, sandal kita, juga rokmu yang berwarna ungu. Kuingat,  diam-diam aku bahkan berterima kasih telah turun hujan.  Sungguh, amat  kunikmati suasana hujan kala itu. Begitu mengasyikan….Tapi sudahlah, aku tak berani berlama-lama. Harus segera pergi karena betapapun lamanya kumenanti di sana, kau bahkan tak kan sempat menjemputku..
Masih hujan dan payung.
Yang satu membuat basah, satunya lagi untuk melindungi agar tak basah. Nampaknya bertentangan, tapi berpasangan. Selalu ada dalam kesempatan yang sama. “Sedia payung sebelum hujan”, begitu bunyi ungkapannya. Ah, kulihat dimana ya tulisan itu? Di buku-buku SD, di toko barang kelontong, tertera pada stiker, di…ah, di banyak tempat barangkali. Tapi yang jelas, tulisan itu bersemayam dalam hatiku sejak aku selalu bersamamu.
Bicara soal berpasangan, kita memang bukan pasangan. Kita tak pernah mengakui menjadi pasangan, begitu katamu. Dalam beberapa hal kita memangmemiliki perbedaan. Tapi sekalipun begitu, kita tak berniat untuk membuatnya menjadi seragam, bukan?.
Aku menghargaimu jika tetap fanatik dengan warna ungu. Sungguhpun dalam keyakinanku warna ungu melambangkan keangkuhan, dingin dan sulit diajak berkomunikasi. Aku tak pernah keberatan jika  kau putar musik klasik di kamarmu. Musik yang terasa monoton jika diputar terus menerus, sanggahku. Kau bahkan juga bilang menyukai film horror. Benar-benar  selera yang aneh untuk gadis secantik dan selembut dirimu. Tapi apapun, bagiku setiap pribadi berhak memiliki perbedaan dengan diriku.
Hingga akhirnya kita menyadari bahwa hal-hal itulah   yang membuat kita tetap bersama. Saling menghargai. Kau adalah dirimu, dan aku adalah diriku, tanpa memperuncing sejumlah perbedaan.

Begitu sibuknyakah engkau? 

Selamat menuai hari yang selalu sibuk, Sayang..Ketika menelepon, kau katakan harimu begitu padat. Banyak pekerjaan harus dilakukan, sejak fajar hingga larut. Memang, dengan begitu banyak status sosial yang kau sandang, tentulah menyibukkan. Tak punya banyak waktu, bahkan untuk melihat album foto  kita sekalipun. Kau juga mengabarkan sedang bekerja keras untuk mengejar impianmu, sesuatu yang amat kau idamkan sejak dulu. Sebuah cita-cita yang aku meyakininya akan dicapai olehmu, suatu saat, mungkin tak berapa lama lagi.
“Tak usah dipikirkan, hanya untuk kau pahami,” begitu ucapmu suatu kali. Tahukah kau, ungkapan tersebut mengandung ribuan makna, bagiku. Sangat tidak mungkin aku mengabaikanmu. Sejak dulu, sungguh, aku sangat memahamimu. Tanpa kau minta, selamanya. Sampai kapanpun. Tapi sebuah pemahaman  tak bisa muncul begitu saja tanpa adanya  penjelasan, sanggahku.
Aku masih berharap kau mengijijkanku mengintip   dari lubang kecil di jendelamu untuk mensyukuri sejumlah kesibukan yang tengah membuatmu bahagia. Menurutku cukup adil karena aku tak mengganggu aktivitasmu, bukan?
Sekali lagi, aku terus berupaya memahamimu. Karenanya, meski sangat ingin berbagi, aku tak kan membebanimu dengan menceritakan betapa derasnya hujan mengguyur pekaranganku. Bahkan, telah melongsorkan beberapa bukit di sebelah sana…

Hujan baru saja reda, tapi tidak dengan rasa dinginnya…

Hujan selalu menyisakan hawa dingin. Apalagi di puncak bukit. Tepatnya di ketinggian yang dikelilingi pepohonon dengan sisa air hujan masih menggelayut diantara ranting dan daun-daunnya. Dapat kau bayangkan, aku berada di sana!
Sedianya, hati kecilku ingin meneleponmu. Tapi kabarnya, sinyal di tempatmu tak begitu baik. Sinyal yang tak stabil selalu menghasilkan jawaban sms yang permanen: “Iya, terima kasih”. Ah, sinyal yang menyebalkan!
Oleh karenanya, dengan berat hati, hanya bisa kukabarkan padamu: dari jendela kamarku, langit Lembang berwarna abu pucat. Arak-arakan mobil lalu lalang pergi dan pulang dari jantung kota Lembang. Kota yang menawarkan romantisme karena kesejukannya, kata sebagian orang. Sembari menatap panorama Bandung, dan genting-genting rumah yang nampak dari sini: Selamat siang, Sayang... Sedang apa disana?
Sejatinya hari ini adalah ulang tahunmu. Kusampaikan doa tulus dari lubuk hati yang paling dalam: semoga kau selalu bahagia di sampingnya……

Langit Lembang, februari 2010
“Kau dengan dirimu saja, kau dengan duniamu saja.., teruskanlah…’
dari AGNES MONICA: teruskanlah..

memperingati Ulang tahun TJ, 15 Januari 2010